“Kak, aku mau jadi pilot. Biar bisa terbang.”
“Kak, aku mau jadi Pak Polisi aja deh, biar enggak nangkepin lagi anak jalanan”.
“Atau jadi tentara, biar bisa nembak.. Dor! Dor!Dor!”
“Tapi Kak, gimana kalau jadi Bos aja? Biar bisa dapet duit banyak, enggak perlu ngamen lagi.”
“Bisa beli rumah, beli mobil, beli sendal, makan pizza... Kakak suka makan apa?”
“Atau jadi penyanyi terkenal, daripada nyanyi di bus, enggak ada yang dengerin.”
“Jadi Supir juga kayanya enak, apalagi kalau Supir Taksi, bisa naik taksi setiap hari.”
“Atau jadi Menteri aja deh Kak, nanti aku benerin bus-bus ini, benerin jalan biar enggak macet.”
“Kak! Aku tahu aku mau jadi apa! Jadi Presiden aja sekalian! Biar bisa benerin semuanya.”
“Tapi Kak, aku enggak sekolah... Apa aku jadi guru aja ya Kak? Pintar.. Bisa ngajarin orang-orang.”
“Enggak deh Kak, aku mau jadi Tukang Nasi Goreng aja, biar bisa makan nasi goreng dan kelaparan lagi.”
“Kak...Kak kok diam saja ?”
“Kak, aku enggak mau jadi apa-apa... Aku cuma mau jadi kaya Kakak, bisa sekolah, punya rumah dan bisa makan pizza.”
“Kak... Kalau Kakak? Mau jadi apa?”
Aku pernah bilang kalau bus adalah salah satu jendela dunia aku saat ini. Banyak yang bisa ditemui, walau semua bilang, itu hanya sepenggal kecil dari kehidupan jalanan yang keras. Tapi kemarin, Sepenggal itu duduk disamping ku. Dengan kaki tebal hitam tanpa sendal, badan penuh debu bau matahari, hidung kotor penuh ingus dan tangan yang penuh luka garukan. Dia duduk disampingku menghitung lembaran ribuan kusut dan koin-koin yang ia dapatkan dari hasil mengemis. Saat Bus terlonjak kaget dan sekeping recehnya melompat dari genggaman, ia meloncat ke kolong kursi bus yang kotor dan berusaha mengambil koin itu, seratus rupiah yang mengkilat. Jumlah yang sama yang kadang sengaja kujatuhkan dari dompet karena tidak ingin mengantungi receh.
Matanya berbinar-binar saat aku tersenyum duduk disampingnya. Ia memandangi buku-bukuku yang tebal-tebal. Mungkin bertanya-tanya akankah dibaca buku sebanyak itu. Sebuah senyum manis terlukis di wajahnya saat kusodorkan permen dan sebatang coklat. Dimakannya seakan itu barang berharga yang pernah dimilikinya.
Aku keluar pagi itu dengan pertanyaan keras dari Ibuku. “Mau jadi apa nanti? Mau sekolah apa nanti?”. Aku harusnya malu. Aku disini dengan segala kemewahan dan kebebasan menentukan aku mau jadi apa aku kelak. Aku dengan segala kemudahan, memilih pendidikan manapun, yang terbaik di dunia untuk jadi seseorang yang kumimpikan nanti. Dan aku punya kesempatan untuk menjadikan mimpi bukan sekedar dalam tidur. Tapi aku masih saja mengeluh.
“Ndi, Kamu tahu Kakak mau jadi apa? Kakak mau jadi apa saja... Asal bisa membuat kamu dan segudang kawan-kawanmu disana itu, merasakan kemudahan seperti yang Kakak rasakan. ...”
Dan hari itu, di tengah bisingnya kota dan lalu lintas yang padat pukul 5 sore, hari terakhir sebelum tes beasiswa. Aku berjanji pada bayang-bayang Andi yang masih duduk disitu mengulum permennya. Aku akan sekolah tinggi-tinggi dan belajar sungguh-sungguh. Tak akan aku sia-siakan kesempatan dan kemudahan yang kudapat. Terbang ke langit pendidikan yang tinggi. Dan aku akan kembali, membangun tangga-tangga untuk Andi-Andi lain, agar mereka juga bisa sampai melihat kota dari puncak langit.