Aku percaya Dia mengirimkan malaikatNya. Yang aku tak habis pikir... sebesar itukah cintaNya padaku? Sampai bahkan, ketika Ia tahu aku akan terluka, Ia menyiapkan morfin untuk pereda, tidak untuk menyelesaikan tapi paling tidak untuk membuatku tenang.
Aku gak peduli, sahabat-sahabatku bilang aku mulai gila. Bilang kalau mungkin morfin itu berbahaya, bilang kalau morfin itu hanya sementara. Aku tidak peduli. Yang aku tahu, dia datang dari angkasa memberikanku bunga-bungaan yang aku tahu akan layu, tapi cukup untuk membuatku tidak menangis malam itu.
***
Malam datang, aku patah hati. Seberapa pun aku coba untuk menyambungnya kembali, patahan itu patah lagi dan lagi. Semakin mengeluarkan darah yang merembes melalui tulang-tulang dadaku. Aku kesakitan, sampai aku tidak lagi dapat menangis. Segalanya terulang di kepalaku seperti sebuah film yang tak dapat kuhentikan, suara pertamanya, genggaman tangannya, tatapannya, dan segalanya yang terbiasa aku rasakan di hampir purnama kelima ini.
Lalu tiba-tiba sebuah sapaan kecil membuatku terjaga dai gelapnya kamarku yang hanya diterangi lampu lava warna ungu. Tulisnya 'Apakah sebenarnya kita ini hanya ingin dicintai?'. Siapa pula orang asing yang mempertanyakan sebuah pertanyaan yang tak asing bagiku? Dia teman baruku, yang baru saja kukenal malam sebelumnya, entah siapa dia? awalnya akupun tak peduli. Tapi lalu dia menanyakan pertanyaan yang sedang kucari jawabnya.
Kujawab, “pada dasarnya setiap orang ingin dicintai DAN disakiti”
“kenapa begitu?” tanyanya heran.
"karena ketika cinta itu datang..."
"tapi cinta itu datang seperti pencuri" dia memotongku.
"Ya... cinta datang seperti pencuri, tapi kita punya hak menentukan untuk menerima atau menolak cinta itu. Ketika kita menerima cinta itu, kita tahu dengan menerima cinta itu kita siap untuk disakiti. Sehingga jika kita ingin dicintai, artinya kita pun ingin disakiti" sahutku panjang lebar. Dia termenung lama.
"hahahaha sudahlah... jangan ngomong sama aku... aku cuma orang yang lagi patah hati. Kalo kamu lagi patah hati juga, mendingan jangan ngomong sama aku, daripada ntar kita berdua bunuh diri!hahahah" aku pun tertawa renyah meledeknya.
"Kamu sedang patah hati?" tiba-tiba tanyanya mengagetkan ku.
"Yep... tapi yaudalah yaa... aku harus belajar ngatasin sakit hati" aku berkilah.
"Apa hati yang tertutup luka tidak bisa lagi melihat indahnya cinta?" tanyanya lagi.
"Luka? cinta?" tanyaku semakin bingung "bentar deh... kamu ceritanya mau menghibur ato mengejek aku? aku perlu tau, karena aku harus nyiapin hati"
":) aku hanya mau menghibur kamu" sahutnya.
"Oke. Thx hahahaa... ngobrol sama orang yang gak dikenal dan dihibur tentang patah hati adalah hal pertama yang aku butuhin saat ini" sekali lagi sahutku asal.
"Ulya...Dunia di balik bentengmu itu indah, indah karena cinta dan bunga-bunga yang bersemi. Jadi jangan biarkan tertutup luka."
Tiba-tiba aku tersentuh oleh kata-kata sederhana itu, "You make me started to cry" kataku padanya.
"Sorry... i just want to make you smile, aku akan temani kamu malam ini sampai kamu tertutup kabut mimpi. Aku akan lakukan apa saja untuk buat kamu tersenyum."
"Kenapa? kenapa ingin buat aku tersenyum? Kamu kan gak kenal aku?"
"Haruskan aku kenal kamu untuk boleh membuat kamu tersenyum. Aku gak bisa membiarkan seorang gadis ditutupin mendung. Kamu tahu? Bintang-bintang dari tempatku berasal redup karena mendungmu."
"Siapa kamu??? Kamu datang menanyakan tanya yang kucari jawabnya. Kamu datang, seolah tahu tangisku. Siapa kamu?" tanyaku semakin bingung.
"Aku Malam, sudah kukenalkan namaku kemarin. Aku hanya temanmu, yang ingin membuatmu berhenti menangis. Aku hanya orang yang mencari bulan dari kehangatan malam."
"Tapi aku bukan bulan. Dan kamu bicara seperti kamu ini pernyair. Apa kamu penyair?"
"Aku bukan penyair, aku bukan siapa-siapa. Dan jangan jadi bulan, karena aku tak pernah bisa jadi bintang untuk temani kamu"
Aku termenung, bingung, bahagia, sedih, sakit dan entah apa lagi yang harus kurasakan.
"Mau kamu berbagi apa yang menghapus senyum di wajahmu? Kalau dengan begitu aku dapat menghapus air matamu?" tanyanya lagi setelah bermenit-menit kami lalui dalam diam. Entah apa yang mendorongku untuk bicara.
"Dari kecil aku hidup dalam benteng yang dibangun dengan tekad yang kuat, dari kecil aku belajar tahu bahwa hidup itu perang dan kita harus punya pertahanan untuk menang. Aku pun berhasil hidup tanpa pendamping. Apalagi seorang lelaki, sejak aku tahu perbedaan antara laki-laki dan perempuan, aku tahu bahwa aku tidak butuh mereka untuk melengkapi hidupku. Yang aku tahu semua makhluk berpenis itu brengsek. Tapi lalu suatu senja, sang putra langit datang tersenyum padaku. Memasuki benteng pertahanan yang entah berapa belas tahun kubangun. Dia meyakinkan aku bahwa dunia ini indah dibalik benteng itu. Dan dengan kepercayaan padanya, aku merubuhkan benteng hatiku lapis demi lapis. Dan percaya bahwa cinta itu indah di luar sana. Tapi lalu dia pergi. Aku kesakitan, lhoo... lalu fakta yang kutahu, bahwa dia tidak pernah mencintaiku seperti dia mencintai perempuan sebelum aku. Bahwa cintanya tidak akan pernah untukku..."
Dia termenung lama sekali... sehingga awalnya kupikir dia telah pergi.
"Jangan menangisi laki-laki bodoh yang tega menghapus senyum dari wajahmu, Yak. Maaf mungkin aku kasar. Tapi laki-laki itu adalah laki-laki beruntung yang bodoh. Beruntung karena dicintai, tapi sangat bodoh melepaskan itu." jawabnya tiba-tiba.
"Dia tidak bodoh. Dia hanya memilih. Dan ia memilih pilihan yang menurutnya benar"
"Apa yang bisa aku lakukan untuk mengembalikan senyummu lagi?"
"Tidak ada... aku sudah sangat bahagia kamu mau aku ajak bercerita"
"Jangan nangis lagi ya... hehehehe" sahutnya lalu lebih santai.
"Aku TIDAK menangis!"
"Kamu anak paling kecil ya?" tanyanya.
"BUkan.. aku sulung malah.. kenapa memang?"
"hehehe masih kelihatan cengengnya... :)"
"AKu enggak nangis! Aku gak cengeng! Aku gak pernah benar-benar menangis lagi sejak usiaku 10 tahun. Aku belajar untuk menangis dalam diam di dalam lemari, karena kalau aku menangis, mamaku sedih."
"Sorry... aku gak maksud bilang kamu cengeng. Aku bangga sama kamu, Ulya..."
Kami berdua diam tak tahu harus apa.
"Malam, Aku boleh minta sesuatu?"
"Apa saja..."
"Aku mau dengar suara kamu... supaya aku tahu kamu nyata. Aku bahkan takut aku ini gila dan semua percakapan ini hanya ada di kepalaku saja!"
"Aku masih menginjak bumi, artinya aku nyata kan?... Suaraku tidak merdu, nanti kamu mimpi buruk mendengar suaraku... :) "
"Aku tidak peduli suaramu jelek, aku hanya ingin dengar"
"Nanti ya... ada waktunya... aku belum siap. Melihat senyummu saja aku gemetar. Bagaimana aku mendengar suaramu? Aku bisa diam seribu bahasa."
"Tapi kamu kan belum pernah lihat senyumku"
"Kamu tahu? nenek moyangku bilang, wanita adalah makhluk paling indah yang ada di muka bumi. Dan itu benar"
"Bukan wanita yang paling indah di muka bumi, tapi hatinya." sahutku gusar.
"Dan tahu tidak? Bahkan malaikat dan peri-peri pun tidak secantik itu"
"Memang kamu pernah lihat malaikat atau peri?"
"Belum, aku belum pernah melihat mereka. Tapi aku sedang memandangi senyum seorang gadis di layarku. Dan hatinya begitu indah, aku percaya dia lebih indah dari malaikat dan para peri"
"Kamu gombal. hahahahaha" sahutku merasa konyol. "Aku jelek... aku tidak secantik para peri dan malaikat."
"Entah mengapa aku gak bisa percaya kamu. Dan aku gak berusaha untuk gombal, aku pun tidak berusaha untuk membuatmu percaya aku"
"Kamu aneh banget sih. hahahaha kamu lucu."
"Lucu? Lumayan cupu??"
"hahahahahaha kamu membuat aku banyak tertawa malam ini, Malam"
"Berarti selesai tugasku. Tetap tersenyum seperti mentari, Ulya"
"Makasih ya... aku pun gak pernah bertemu malaikat atau peri, tapi aku yakin salah satunya sedang duduk mengetik ucapannya di depan layar"
"Oh no... aku bukan malaikat... aku tidak pantas untuk itu"
" :) " entah apalagi yang harus kuketik.
"Sudah... ayo tidur... besok kamu kesiangan... memang kamu tidak ngantuk?"
"Besok aku libur... dan aku pun gak akan bisa tidur dengan pikiran yang riwet begini"
"Sudah ya Ulya, aku masih harus lanjutkan besok"
"Okay... selamat tidur ya... mimpi indah"
"kamu juga... jangan nangis lagi ya. Tetap tersenyum. Janji?"
"Iya... iya... janji... tersenyum seperti mentari kan?"
"Iya... seperti mentari..."
"Udah sana bobo! Aku gak mau kamu telat karena aku."
"berat..."
"Apanya berat???"
"Berat untuk meninggalkan kamu malam ini"
":) aku disini kok setiap malam, bahkan setiap hari dan setiap waktu. Aku harap kamu bisa menjadi nyata bukan saja ketika bulan bersinar"
"Aku hanya ingin jadi udara bagi setiap orang yang membutuhkan aku."
"Selamat tidur, Malam."
"Selamat tidur juga, berjanjilah untuk mimpi indah"
Klik... aku mematikan semua perangkat agar aku bisa hilang dari semua kegilaan.
Siapa sih dia? Orang sinting mana yang datang dan membawa morfin sehingga menghentikan tangisku semalam. Aku terbangun pagi ini dan merasa sangat.. sangaaat sakit. Lalu aku duduk menangis, kebetulan rumahku kosong. Kutelpon seorang sahabatku dan menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit yang seolah hilang semu semalam, kini tiba-tiba menusuk-nusuk dadaku, badanku, tulangku. Dimana kamu pembawa morfin? Aku mau morfin itu, supaya aku tenang lagi. Tapi lalu aku berdoa, Tuhan, jika memang ini rasa sakit yang harus kuhadapi, biarkan aku menghadapinya, Tuhan. Biar ini berlalu cepat. Dan aku pun menangis lama sekali di lantai sambil memandangi tubuhku yang terisak-isak dari kaca.
Tapi lalu aku ingat, saat menangis, kita harus tahu kapan kita harus berhenti. Dan aku pun bangkit dan mulai menulis. Sambil memikirkan, siapa malaikat yang datang tadi malam.