Warna-Warni :)

Jalan mendatar, kerikil-kerikil hilang, pelangi mengetuk jendelaku. Mimpi-mimpi buruk penuh air mata pudar perlahan, rasa sakit dan luka sedikit demi sedikit sembuh, kegelapan ditelan cahaya, aku terbangun hangat dipeluk lengan-lengan tirai yang lembut. Pagi masih terlalu dini untuk lahir, masih gelap untuk berkotek di dapur. Aku merebah lagi, menikmati detik-detik yang hidup menggema di dinding-dinding hati. Dunia terus berputar sembari aku terlelap. Matahari terus merangkak naik turun sembari aku terpejam. Aku membuka mata lagi, biru kalah perang dengan jingga. Langit mulai terang, Hari baru lagi, pikirku dan perlahan bangkit sambil berbisik pada sebuah arwah yang masih tergolek di ranjang, Ikut aku, aku ingin hidup hari ini!’
Musim gugur datang, meniup daun-daun kuning berserakan mati di jalanan. Dari jendelaku langit selalu kelabu, kadang hujan badai, kadang gerimis sepanjang hari. Aku mewarnai langit dengan warnaku sendiri, dibagi empat sama rata, monokronik yang membosankan. Satu bagian ungu untuk buku-buku tebal yang garang mendiami kamarku, satu bagian kuning untuk denting-denting gelas dan tawa, satu bagian putih untuk pemilik kehidupan, dan satu bagian coklat untuk nama-nama baru, wajah-wajah baru. Tak ada lagi Jingga yang menyair dalam sunyi, tak ada lagi Biru untuk dirindu, tak ada lagi Hijau untuk berbagi, tak ada lagi Merah untuk membakar jiwa. Pelanginya kini di langit, mengetuk jendela kaca dengan jari merah mudanya, ‘Sini, kemari.. Ikut aku. Kuantar kau ke ujung bumi
'Untuk apa pergi ke ujung bumi, melihat seribu keajaiban dunia, namun tak seorang pun dapat kau bawa untuk berbagi?'
'Untuk apa pergi meniti indahnya pelangi, kalau tak seorang dapat kau ajak menertawai langit? Mereka semua tersenyum, mereka semua asing. Atau mungkin, aku yang asing dalam senyumku sendiri?'
Seorang pernah bilang padaku, apabila jalanmu mendatar begitu lama, lihat lagi.. jangan-jangan kau salah jalan. Hidup seharusnya berliku, karena seharusnya kita sedang mendaki gunung kehidupan, bukan berselancar di permukaan es yang membeku. Jadilah suatu pagi aku terbangun, dengan adegan yang berulang seperti pagi lainnya. Duduk di tempat sama yang telah kuulang lebih dari tiga puluh hari ini, melihat bentuk yang sama dari jendela di kiriku, menyantap makanan yang sama, memandangi halaman yang sama. Aku jadi meragu, apa yang salah sehingga kini jalanku mendatar. Belum lama memang. Tapi ketakutanku menjalar, aku benci menjadi seorang biasa yang melalui jalan yang biasa dengan gaya jalan yang biasa dan membawa seransel kehidupan yang biasa saja.
Jangan pernah berhenti menemukan keindahan dari hal biasa yang kau temukan. Sebuah pesan kue digital menyapa pagiku. Aah yaa.. Kau benar. Ini bukan tentang mencari kehidupan yang serba naik turun, ini bukan tentang menjadi seorang adrenaline-junkies. Ini bukan tentang kau bisa menyombongkan diri bahwa kau berbeda. Ini tentang, mencari keunikan dalam kehidupan biasa, menciptakan keajaiban pada sebuah rutinitas, menemukan absurditas yang mengejutkan dari sebuah tatanan yang berjajar rapih. Hidup bukan tentang membuat matahari terbit dari barat, tapi ini tentang menciptakan sebuah keajaiban pada matahari yang terbit dari timur. Bukan memaksa matahari untuk merangkak terbalik, tetapi bagaimana kau menceritakan tentang kisah mentari yang terbit dari timur dengan caramu sendiri, sehingga orang-orang berhenti dan mendengarkan kisahmu.
Mentari makin tinggi sembari aku berceloteh. Menara Mesjid di seberang sana bernyanyi merdu. Dunia berputar dan tak berhenti untuk menunggumu membengkokkan jalan, namun ia akan duduk disampingmu, berselancar kemanapun takdir langit melepasmu. Warna bumi terlalu banyak, dan terkadang menikmati warna-warna kromatik ada enaknya juga.

Menara mesjid berhenti bernyanyi, waktunya aku hidup, mewarnai langit dengan warna-warna lain.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar