Mengobati Jingga

Ada beberapa suara yang kadang ingin kita lupakan seumur hidup. Kita pendam jauh di dalam hati, di dasar memori yang disimpan dalam kotak brangkas ingatan paling rumit dengan pengaman ganda. Suara yang dengan hati-hati kita hindari agak kita tak pernah ingat. Mungkin kau akan bilang ‘Ah pengecut kau, yak?‘. Iya, mungkin aku terlalu jadi pengecut untuk ingat semua kalimat-kalimat, lantunan petuah yang dihujani mereka dalam tiap senandung senja.

Hampir setahun dan seperti biasa aku akan mengkambinghitamkan waktu yang telah begitu tak senonoh merampas segalanya dariku. Setahun tanpa kabar, setahun tanpa berita, setahun tanpa pernah bicara sepatah kata pada manusia-manusia yang tadinya sangat lekat di hati.

Duniaku jungkir balik mendengar suara seorang pemuda di seberang sana, menyapa dengan keramahan yang sama seperti yang kutinggalkannya di pantai dulu.
‘Halo…’ sapaku enggan.
‘Iya siapa nih?’ Katanya ringan. Ah...suara yang sama, nada yang sama...
‘Ini Uliaa...’ jawabku lirih
‘Hei, kurus!’ runtuh semua benteng yang kubangun berbulan-bulan ini. Hancur oleh sebuah sapa sederhana.

Apa rasanya? Apa rasanya ditinggalkan oleh seorang yang paling kau percayai di dunia, yang mimpinya kau telan seperti obat penawar rasa sakit akan dunia, yang ucapannya kau minum pagi-siang-sore-malam supaya kau tetap hidup dalam dunia yang semakin menggila, dan terlebih lagi…supaya kau tetap punya mimpi. Seseorang yang membuatmu begitu percaya pada dirimu sendiri, pada kata idealisme yang bahkan kau tak tahu apa artinya. Seseorang yang selalu menyodorkan bahunya saat kau butuh tempat mengadu. Seseorang yang akan memarahimu bukan karena marah, tapi karena mengkhawatirkanmu sakit karena tidak ikut makan malam. Seseorang yang selalu menanyakan kemana kau pergi saat tidak ada dikelas. Seseorang yang menyeka airmatamu saat menetes jatuh ketanah. Seseorang yang mengantarkanmu pulang kerumah saat kau pulang telat. Seseorang yang setiap sorenya duduk dibalkon dan memandangimu seolah kamu salah kostum. Seseorang yang mengajarkanmu meneliti indahnya langit senja dan lalu mengartikan bentuk-bentuk jingga di langit seberang sambil merenung dibalkon. Seseorang yang bercerita tentang kisah-kisah gila para inspirator dan kadang kau tahu juga bahwa kisahnya itu karangannya sendiri. Seseorang yang mengajarkanmu cara mewarnai pelangi, cara memelihara mimpi, dan cara terbang ke angkasa tanpa sayap. Dan apakah dari tadi aku menggunakan kata ‘seseorang’ ??? Karena setelah kalian membayangkan apa rasanya.. kalikan lah tiga. Karena seseorang itu ada tiga!

Apa rasanya? Apa rasanya bila seorang (dikali tiga) itu, suatu senja pergi, tanpa sebuah penjelasan, tanpa sebuah pesan, tanpa tahu apa salahmu, tanpa tahu apa sebabnya. Dan satu-satunya kalimat yang ditinggalkan dan dititipkan ke orang lain adalah ‘Suatu saat ia akan menemukan sendiri jawabannya’. Apa rasanya?

Aku menghabiskan banyak waktu merenung, berpikir, marah, menangis untuk menemukan sebuah penjelasan. Penjelasan yang tak bisa kudapatkan. Kata tanya tanpa jawaban. Aku mengingat-ingat segalanya, mencari kalam, dimana yang salah kuletakkan tentang segala sesuatu yang kukira benar. Dan jawaban itu tak ada, tak sedikitpun memberikan petunjuk untuk membuatku lega.

Di sebuah titik aku sadar, menemukan diriku telah lama terisak-isak di atas tumpukan kenangan yang sudah hampir basi. Dan di saat itu, dengan langkah gontai aku menghampiri brangkas terdalam pada ingatan dan hatiku, kukunci semua kalimat dan suara yang telah akrab di telingaku, kuletakkan paling bawah. Pengaman ganda. Selesai. Aku tak lagi sakit, aku tak lagi marah, tak lagi perih, tapi kosong. Tak satu pun puisi kutulis, tak satupun cerita, blog, remeh-temeh tentang kejadian itu pernah kucatat. Musnah saja, anggap saja tak pernah terjadi. Aku memilih untuk tak ingat. Aku memilih untuk lupa bahwa aku pernah sangat sayang pada mereka yang telah mengajarkanku cara memelihara mimpi dan bagaimana cara tertawa.

Cara itu ampuh, aku lupa dan waktu menghempasku semakin jauh. Menawarkanku berbagai senyum lain, mengisi dengan orang-orang baru, wajah-wajah baru, bahkan... mimpi-mimpi baru. Pelan-pelan hatiku penuh lagi, banyak warna lagi, banyak tawa lagi, walaupun ruang yang ditinggalkan itu tetap kosong.

Mendengarkan sebuah suara yang rasanya telah lama kulupakan sejak saat itu membuatku seakan diseret oleh arus balik waktu yang keji. Menghadapi rasa sakit yang kupendam berbulan-bulan ini, mengakui bahwa luka yang sedikit pun belum kering di bawah perban itu belum hilang sedikitpun, bahwa suara mereka yang renyah di telingaku sedikitpun belum berubah getarannya. Dan begitulah, senja itu aku menyusuri jalan, mengambil jalan memutar ke belakang yang sekarang jarang kulalui. Memunguti serpihan kenangan dan rasa yang tercecer sepanjang jalan temaram itu, tempatku belajar banyak hal dulu. Aku menghadapi rasanya, pedihnya, kecewanya, takutnya, marahnya, kukantongi satu-satu ingatan-ingatan yang selama ini kuhindari, kutatap langit dan langit masih sama birunya seperti langit-langit yang dulu.

Menghela napas, aku menghapus setitik dua titik sungai di pipiku. Mengucapkan salam pada tukang nasi goreng langganan yang kiosnya kini sepi dan lalu beranjak bangkit. Aku punya serentetan kehidupan di depanku, aku punya banyak pertanyaan yang masih harus kucari jawabnya... Tanpa melihat lagi ke belakang, aku menekan pedal sepedaku yang meluncur tenang, sakitnya usai, marahnya lenyap, dan lukanya akan kubiarkan kering pelan-pelan. Hanya dalam hati aku mengingat tangan mereka yang kasar, yang biasa kusentuh sebelum pulang, ‘tahukah kalian betapa aku merindukan kalian? Tahukan kalian betapa aku menyayangi kalian?’.

Deru mobil disisiku mengencang, langit bersimbah biru, lampu jalan menyala menerangi setapak jalan sepi yang landai seperti pantai. Mereka tak pernah kembali.
'setidaknya kau telah berani membuka perbanmu, kurus' suara itu terngiang masih sama renyahnya di telingaku.


Ayo bangun dunia di dalam perbedaan
Jika satu tetap kuat kita bersinar
Harus percaya tak ada yang sempurna
Dan dunia kembali tertawa

Bayangkan dan senyumlah
Mahkota emas tiada artinya
Ketika raja dan ratu
Memimpin dunia semua bersatu
Dan bersatu..

makasih , loh . setidaknya karena kebencian terhadap kamu , aku sekuat ini sekarang :) nanti, saat kita ketemu , aku pasti akan tersenyum seperti seorang teman lama yang sudah lama tidak saling sapa , dan aku akan bilang , "hei , aku ulya :)" . 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar