CURCOL w/ Layar Putih :')
Hmpph… okey!. Tulisan berbau personal selalu dimulai dengan tarikan napas panjang.
Kenapa? Karena tidak gampang untuk memulai membuka sebuah topik, mendeskripsikan kejadian yang bisa saja terjadi hanya di dalam hati.
“Okey.. jadi yakin nih mau cerita?”
“Nggak…”
‘Yaudah!’
“Oke, oke. aku cerita deh...”
Dan begitulah, seperti semua rahasia yang terungkap di depan pendengar yang baik. Layar putih ini, menjadi pendengar terbaik aku malam ini.
“Jadi kita mulai dari mana?”
“Yaudah, coba kita mulai dengan... apa kabar disana?”
“Hm… Basi deh...”
“Hm… Basi deh...”
“Ya abis darimana dong? Kan kita pemanasan dulu…”
“Yaudah deh... terserah kamu aja. Tapi, yakin kamu mau dengar? Yakin kamu mau baca? Ditutup juga nggak apa-apa loh… pintu keluarnya di kanan atas ada tanda silang.”
“Udah deh jangan berisik. Ayo cepetan cerita. Jadi apa kabarmu?”
“Kabar aku baik-baik. Mulai terasa dingin disini, kuliah-rapat-praktikum-main-belajar-tidur, gitu aja tiap hari, nothing really special.”
Ah ini tolol, kaya gini mah baru sepuluh taun lagi sampe ke pokok permasalahnnya.
“Oh gitu... bagus, bagus. terus, gimana teman-teman disana? Sudah ada yang cocok?”
“Buset, cocok? Kamu pikir sepatu, tinggal pilih yang cocok dan comot aja. Enak bener... Hm yeah ada sih beberapa teman yang asik. Asik semua malah, sampe bingung bagi waktunya. Tapi tetep aja, kangen teman-teman di Aceh.”
“Hm begitu ya... bagus lah banyak teman, have fun dong disana jadinya... oaa? Apa kabar yang ‘itu’?”
“Nah lo? Yang itu mana nih?”
“Yang itu... yang lagi deket sama kamu itu loh...”
Ya ampun... basa-basi banget deh... aku mengerti sekali kalau kamu sekali mulai melirik tombol di kanan atas itu.
“Yasudah, memang kamu sampai mana sama yang 'itu'?”
“idih, yang 'itu' lagi? Semua juga 'itu'...”
‘Kamu tau lah yang 'itu' yang mana. Jadi sampe mana?”
“Nggak sampe mana-mana...”
“Hah? Nggak sampe mana-mana gimana?”
“Ya... memang kita nggak merencanakan pergi kemana-mana, gampang tho?”
“Lah? Piye... kukira kalian mau kemana-mana...”
“Mau kemana-mana gimana? Rencananya aja ngga ada kok...”
“Memang tidak dibicarakan?”
“Dibicarakan, tapi memang bukan waktunya, bukan kesepakatannya. Kesepakatannya adalah tidak ada rencana”
“Oh... it’s complicated begitu?”
“Oh... it’s complicated begitu?”
“Nggak juga… emang aku abege-abege smp pake-pake it’s complicated segala. Ada-ada, tidak-tidak... beres tho?”
“Tapi memang, perasaanmu gimana sih? Suka ga suka?”
“Perasaan aku?”
“Iya. Perasaan kamu dan dia, mungkin lebih tepatnya.”
“Perasaan aku... bingung. Perasaan dia... nggak tau, aku kan bukan mama loren”
“Jadi???”
Ya Tuhan, semakin melotot saja dia menjadi-jadi… tolong ini kan curhat colongan, bukan investigasi kasus pencurian ayam betina. Santai dikit woi…
Hening...
“Jadi???”
“aku sayang dia...”
“Basi!”
“Yeeeh.. kenyataan kok? Terus aku harus jawab apa?”
“Apa kek? Sesuatu yang lain. Sayang itu basi. Nenek-nenek tua juga tau kalo kamu sayang dia”
“Yeeeh.. kenyataan kok? Terus aku harus jawab apa?”
“Apa kek? Sesuatu yang lain. Sayang itu basi. Nenek-nenek tua juga tau kalo kamu sayang dia”
“Justru itu... itu sesuatu yang aku baru sadar. aku tadinya nggak tau kalo ternyata aku sayang sama dia.”
“Makanya jangan kebanyakan pikun...”
Heh? Apa sih ini jadi ngomongin pikun? Sotoy banget ngomongin soal pikun.
“Yeee kok jadi pikun-pikunan? Ya bukan gitu... Cuma aku tadinya ga yakin sama yang aku rasakan. aku pikir cuma fatamorgana”
“Terus? Sudah diungkapkan belum?”
“Sudah...”
“Lalu?”
“Ya tidak ada lalu. Sudah saja begitu...”
“Ya tidak ada lalu. Sudah saja begitu...”
“Dianya gimana?”
“Entahlah... mungkin aku yang salah...
“Kalau dia benar sayang, dia akan tinggal kan?”
“Belum tentu”
“Kenapa?”
“Karena tak semua sayang layak untuk kesempatan kedua”
Hening...
“aku yang terlalu telat menyadari dia… ada”
“aku yang terlalu telat menyadari dia… ada”
“Stereotipe banget deh ceritamu”
“Bukan stereotipe...”
“Lalu?”
“Itu mah emang banyak manusia dodol aja kaya aku, nyadarnya telat. Pas sadar, semuanya udah terlambat. Perih diam-diam”
“Ya terus, kalau begitu... kenapa kamu masih saja disitu? Pergi aja tho? Gampang…”
“Ya terus, kalau begitu... kenapa kamu masih saja disitu? Pergi aja tho? Gampang…”
“Ya... kalau aku pergi... aku kalah dong? Dia akan selalu jadi seseorang yang pernah aku inginkan. Kamu tau kan betapa aku benci menjadi seorang pecundang? Nggak mau...”
“Kok pecundang? kalah urusan hati bukan artinya kamu jadi pecundang lho.”
“Justru itu… aku mau tinggal dalam arena pertandingan. Nggak peduli sesakit apapun, nggak peduli seperih apapun… aku harus tinggal... sampe aku punya alasan yang cukup kuat untuk berhenti sayang sama dia. Atau sampai rasanya hilang sendiri… Baru aku akan keluar dari arena, dengan kepala terangkat, sebagai pemenang. Dan dia juga…”
“Kamu tidak benar-benar sayang dia berarti…”
“Kok gitu?”
“Kalau kamu sayang, kamu akan bahagia melihat dia menang.”
“Dia tidak memenangkan apapun... tapi dia juga tidak kalah. Ini sebenarnya bukan masalah menang atau kalah... ini cuma masalah takdir... takdir aku tidak bersinggungan sama dia”
“Hari gini percaya takdir?”
“lumayan...”
“aku kira kamu lebih cerdas daripada itu”
“Percaya takdir nggak ada hubungannya sama kecerdasan. Lagipula…”
“lagipula apa?”
“lagipula... aku percaya ada waktu untuk segalanya”
“Ya Allah! Kata-kata orang pasrah sedunia...”
“Bukan gitu... tapi bener kok… kadang hal termudah untuk dilakukan adalah pasrah… Kalau bukan buat aku, yasudah! Pasti nanti ada yang lebih baik kan?”
“Tapi kalau kamu sayang dia...”
“Ya tapi dia nggak sayang aku... gimana dong?”
“Tau dari mana???”
“Intuisi...”
“Halah...pembenaran… karena kamu takut mengetahui fakta bahwa dia beneran nggak sayang kamu.”
“aku menebak, tapi aku yakin itu benar...”
“Udah ah. Susah ngomong sama orang yang pasrah kaya gini…”
“aku nggak pasrah! Kan aku sudah bilang, bahkan aku akan nunggu di arena sampe aku punya alasan untuk pergi, atau rasa itu hilang sendiri”
“Alasan apa? Kapan? Kamu akan tau kapan waktunya itu?”
“Nanti, pasti ada! Akan ada tanda... bahwa aku harus pergi.”
“Oh iya? Tanda apa? Tanda dari langit? Mimpi kamu... Dan sori ya.. kamu cuma pecundang yang tak ingin dengar seseorang menolak kamu. Kamu terlalu banyak sembunyi dari ketakutan-ketakutanmu sendiri...”
“Kamu jadi ofensif… ini kan curhat, seharusnya apa saja yang aku bilang sah-sah aja dong”
“aku ga mau dengerin curhat orang tolol macam kamu.”
“Kenapa? jadi aku yang tolol?”
“Karena kamu menunggu, sembunyi dibalik yang kamu sebut ketegaran”
“Jadi menurutmu?”
“Menurutku, maju atau pergi”
“Aku sudah maju…”
“Kalau begitu pergi”
“Tapi aku sayang dia...”
“Dan sayang tidak merubah apapun juga... tidak merubah takdir”
“Karena takdir selalu punya cerita lain yang tidak kita miliki”
“Ulya...”
“Ya?”
“Bawa takdirmu, cintamu, hatimu... pergi dari dunia, karena mungkin takdir lupa menuliskan cerita untukmu.”
“Ulya...”
“Ya?”
“Bawa takdirmu, cintamu, hatimu... pergi dari dunia, karena mungkin takdir lupa menuliskan cerita untukmu.”
“Mungkin...”
Lalu baris-baris membosankan ini ditutup, disimpan di hardisk laptopku.
Dan aku yakin, kamu menyesal tidak menutup jendela ini dari baris pertama. Maaf. Maaf. Maaf... Terkadang manusia membuat kesalahan, menyadari sesuatu secara terlambat. Dan seperti cinta, waktu tak dapat kembali. Menit-menit yang kau habiskan membaca sampah ini, hilang dan tak akan kembali, seperti jika kau memilih untuk menutup tulisan ini dari awal. Dan seperti segala sesuatu dalam hidup, tak semua hal layak mendapatkan kesempatan kedua. Aku sendiri tak tahu apakah cinta layak akan kesempatan kedua. Apakah rasa sayang, tanpa embel-embel, layak untuk diberi kesempatan satu kali lagi? Apakah rasa sayang cukup untuk menjadi alasan seseorang untuk bangun dari masa lalu? aku mencari jawaban itu dari kemarin-kemarin... aku mencari jawaban yang lebih dalam dari sekedar rasa sayang, dari sekedar keinginan untuk menang, dari sekedar rasa suka. Dan aku menemukan, rasa itu adalah... ikhlas. Ya.. sesimpel itu. Ikhlas dan pasrah... Klise memang. Tapi apa lagi yang bisa kamu pertahankan untuk hubungan yang tak berdasar, untuk hubungan tanpa status yang jelas, untuk hubungan tanpa mimpi, untuk sebuah perasaan yang tak terdefinisi. Dan seseorang pernah bilang padaku... selama rasa itu tak bisa kau definisikan, rasa itu mungkin cinta, karena cinta tak terdefinisi…
Untuk kamu, seseorang yang sedang menyelam alam mimpi detik ini. Aku sayang kamu. Mungkin itu belum cukup. Suatu saat, akan.
0 komentar:
Posting Komentar